Senin, 04 Februari 2013

Keindonesiaan dan Keislaman


Seorang pemuda aktivis NU menceritakan bahwa Gus Mus dalam suatu ceramahnya mengatakan dirinya adalah orang Indonesia yang beragama Islam. Kawan itu menyatakan setuju dengan pendapat itu.
Lanjutan yang wajar dari kalimat pendek itu menurut aktivis muda NU itu ialah bahwa dia bukan orang Islam yang berbangsa Indonesia. Saya tidak mendengar sendiri ceramah Gus Mus itu secara utuh sehingga tidak bisa menangkap pesan yang ingin disampaikannya.
Menurut saya kalimat yang diucapkan Gus Mus itu tidak lengkap. Yang lengkap ialah : "Saya adalah orang Islam yang berbangsa Indonesia, sekaligus orang Indonesia yang beragama Islam. Artinya keduanya seperti dua sisi dari satu mata uang yang sama. Kalau satu sisi dari mata uang itu tidak ada, maka mata uang itu tidak sah. Indonesia dan Islam tidak bisa dipisah dan tidak boleh dipertentangkan.''
Mana yang lebih didahulukan, Indonesia atau Islam? Tidak pernah saya mengalami semacam situasi simalakama, merasa harus memilih salah satu atau mendahulukan salah satu. Judul tulisan di atas lebih mendahulukan kata keindonesiaan karena alasan urutan abjad.
Memang tidak perlu mendahulukan salah satu. Indonesia dengan dasar negara Pancasila menurut Munas Alim Ulama NU 1983 adalah amat sesuai (compatible). Sila-sila dari Pancasila adalah wahana untuk menerapkan syariat Islam di Indonesia.
Mungkin generasi ayah saya pernah mengalami pilihan semacam itu. Ayah saya, KHA Wahid Hasyim, dan banyak kawan beliau di Partai Masyumi dulu memperjuangkan Islam menjadi dasar negara atau memperjuangkan Indonesia menjadi negara Islam di dalam persidangan BPUPKI. Hal itu adalah sesuatu yang wajar pada saat itu. Kondisi objektif aktual membuat para tokoh (nasionalis) Islam itu memilih Pancasila sebagai dasar negara.
Mungkin mereka juga tidak mendahulukan Islam, tetapi berpendapat bahwa Indonesia kalau ingin berhasil menjadi negara yang maju dan sejahtera harus menjadi negara berdasar Islam. Hal itu adalah sesuatu yang wajar karena para tokoh Islam waktu itu belum terlalu banyak menggeluti pemikiran politik yang datang dari Barat.
Tahun 1955 berlangsung pemilu pertama. Saya saat itu duduk di kelas enam Sekolah Rakyat (SR), setingkat SD sekarang. Di lapangan di depan rumah orang tua saya di Taman Matraman Jakarta, sering berlangsung kampanye dan saya sempat mengikutinya. Masih teringat apa yang disampaikan jurkam Partai Masyumi bahwa umat Islam wajib memilih partai Islam yang memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Umat Islam yang tidak memilih partai Islam berdosa.
Itulah saat pertama saya berjumpa dengan keindonesiaan dan keislaman. Dengan logika anak kelas enam SR, saya katakan kepada adik saya Umar (kelas empat SR), bahwa saya sulit menerima pernyataan jurkam di atas.
Bagi saya saat itu Pancasila adalah dasar yang bagus bagi negara RI. Pendapat itu tetap saya yakini sampai saat ini. Saat itu tentu saja saya belum membaca bagaimana para pendiri bangsa memperdebatkan dasar negara dengan terbuka dan terus terang terkadang panas tetapi santun dan sportif.
Setelah menjadi mahasiswa, saya mulai membaca buku atau tulisan yang menguraikan proses pembentukan negara RI dalam persidangan BPUPKI dan PPKI. Lalu juga proses persidangan di Majelis Konstituante yang akhirnya bermuara pada Dekrit Presiden 5 juli 1959.
Timbul pertanyaan dalam diri saya mengapa Partai NU tidak menerima Pancasila dalam persidangan Konstituante. Saya bertanya kepada mertua saya, KH Saifuddin Zuhri, mengapa NU dalam Konstituante menolak Pancasila? Beliau menjawab bahwa pendapat NU diputuskan melalui musyawarah bersifat nasional dan memang saat itu hampir semua tokoh NU memilih dasar negara Islam.
Pendirian dan sikap politik semacam itu terus dipertahankan oleh NU ketika bergabung dalam PPP. PBNU baru mulai berpikir secara mendasar saat ada suara bahwa semua orpol dan ormas harus menggunakan Pancasila sebagai asasnya.
Tim yang dibentuk oleh PBNU di bawah pimpinan KH Ahmad Siddiq menghasilkan sebuah dokumen yang lalu disetujui oleh Munas Alim Ulama NU (1983) dan dikenal sebagai Deklarasi Hubungan Islam dan Pancasila. Deklarasi itulah yang memadukan Islam dan Pancasila sehingga menjadi landasan berdirinya PKB dan mungkin juga PAN.
Kesediaan untuk memadukan Indonesia dan Islam adalah suatu modal sosial politik yang amat berharga. Tetapi, perlu disadari tentu membutuhkan waktu panjang dan melalui proses yang tidak sederhana. Buktinya kini setelah 25 tahun NU meluncurkan Deklarasi Hubungan Islam dan Pancasila, masih amat terasa bahwa upaya memadukan Islam dan Pancasila masih jauh dari harapan.
Di lingkungan NU dan Muhammadiyah terdapat dua kelompok yang tampaknya berbeda pendapat tentang masalah tersebut. Personel AKKBB dan yang memasang iklan yang dituduh sebagai provokator oleh Habib Rizieq sebagian adalah warga dan tokoh-tokoh utama NU dan Muhammadiyah. Di dalam NU dan Muhammadiyah juga terdapat mereka yang ingin membubarkan Ahmadiyah.
Sementara itu, usai Orde Baru di luar NU dan Muhammadiyah muncul kelompok yang ingin mewujudkan khilafah Islamiyah, yaitu Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Selain itu muncul juga organisasi Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) di bawah pimpinan Abubakar Ba'asyir yang ingin mendirikan negara yang menerapkan syariat Islam secara total.
Itu terjadi dalam alam demokrasi yang memberi kebebasan kepada warga untuk berserikat dan memperjuangkan pendirian yang diyakininya, yang dijamin oleh UUD. Mereka berhak menyebarkan pendirian itu, asal tidak dengan kekerasan dan intimidasi. Tetapi, kalau mereka sudah melangkah lebih jauh daripada sekadar wacana, tentu akan berurusan dengan pihak berwajib.
Di pihak lain Pancasila kehilangan dukungan dari banyak warga masyarakat karena pensakralan terhadapnya dan indoktrinasi Pancasila oleh Orde Baru yang tidak disertai penerapan dari sila-sila itu. Mereka mengacaukan Pancasila dengan penerapannya, tetapi kita tidak bisa menyalahkan mereka.
Dari kegaduhan dan hiruk-pikuk yang menyertai perbedaan dalam menyikapi Ahmadiyah dan beberapa contoh lainnya, terlihat bahwa kesediaan prinsip untuk memadukan Islam dan Indonesia melalui deklarasi di atas tidak ditindaklanjuti dengan upaya serius untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Upaya serius harus dilakukan dalam bentuk serial dialog yang direncanakan, yang dilakukan dalam suasana santai dan menyenangkan dan tidak dalam situasi seperti sekarang. Tentu akan dibutuhkan waktu yang amat lama. Buktinya sudah 25 tahun sejak NU menerima Pancasila, upaya memadukan itu tidak tampak hasil nyata yang cukup berarti.
Kita paham masalahnya tidak sederhana dan rumit sehingga harus ada kesediaan dari kedua pihak untuk tidak memasang kata 'pokoke'. Perlu ada kesediaan untuk mencari titik temu sehingga upaya memadukan Indonesia dan Islam tidak hanya berupa ucapan dan tidak bergerak setelah 25 tahun berlalu sehingga bisa memperoleh kemajuan yang berarti. Tanpa upaya serius seperti diusulkan di atas, kita akan selalu menemui kondisi dan situasi penuh konflik antarumat Islam seperti sekarang.
Ikhtisar:
- Memadukan Indonesia dan Islam adalah suatu modal sosial politik yang amat berharga.
- Para pendiri bangsa sangat memahami kedua faktor tersebut tak bisa terpisahkan.
Dimuat di Harian Republika, Jumat, 27 Juni 2008