Senin, 04 Februari 2013

Keindonesiaan dan Keislaman


Seorang pemuda aktivis NU menceritakan bahwa Gus Mus dalam suatu ceramahnya mengatakan dirinya adalah orang Indonesia yang beragama Islam. Kawan itu menyatakan setuju dengan pendapat itu.
Lanjutan yang wajar dari kalimat pendek itu menurut aktivis muda NU itu ialah bahwa dia bukan orang Islam yang berbangsa Indonesia. Saya tidak mendengar sendiri ceramah Gus Mus itu secara utuh sehingga tidak bisa menangkap pesan yang ingin disampaikannya.
Menurut saya kalimat yang diucapkan Gus Mus itu tidak lengkap. Yang lengkap ialah : "Saya adalah orang Islam yang berbangsa Indonesia, sekaligus orang Indonesia yang beragama Islam. Artinya keduanya seperti dua sisi dari satu mata uang yang sama. Kalau satu sisi dari mata uang itu tidak ada, maka mata uang itu tidak sah. Indonesia dan Islam tidak bisa dipisah dan tidak boleh dipertentangkan.''
Mana yang lebih didahulukan, Indonesia atau Islam? Tidak pernah saya mengalami semacam situasi simalakama, merasa harus memilih salah satu atau mendahulukan salah satu. Judul tulisan di atas lebih mendahulukan kata keindonesiaan karena alasan urutan abjad.
Memang tidak perlu mendahulukan salah satu. Indonesia dengan dasar negara Pancasila menurut Munas Alim Ulama NU 1983 adalah amat sesuai (compatible). Sila-sila dari Pancasila adalah wahana untuk menerapkan syariat Islam di Indonesia.
Mungkin generasi ayah saya pernah mengalami pilihan semacam itu. Ayah saya, KHA Wahid Hasyim, dan banyak kawan beliau di Partai Masyumi dulu memperjuangkan Islam menjadi dasar negara atau memperjuangkan Indonesia menjadi negara Islam di dalam persidangan BPUPKI. Hal itu adalah sesuatu yang wajar pada saat itu. Kondisi objektif aktual membuat para tokoh (nasionalis) Islam itu memilih Pancasila sebagai dasar negara.
Mungkin mereka juga tidak mendahulukan Islam, tetapi berpendapat bahwa Indonesia kalau ingin berhasil menjadi negara yang maju dan sejahtera harus menjadi negara berdasar Islam. Hal itu adalah sesuatu yang wajar karena para tokoh Islam waktu itu belum terlalu banyak menggeluti pemikiran politik yang datang dari Barat.
Tahun 1955 berlangsung pemilu pertama. Saya saat itu duduk di kelas enam Sekolah Rakyat (SR), setingkat SD sekarang. Di lapangan di depan rumah orang tua saya di Taman Matraman Jakarta, sering berlangsung kampanye dan saya sempat mengikutinya. Masih teringat apa yang disampaikan jurkam Partai Masyumi bahwa umat Islam wajib memilih partai Islam yang memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Umat Islam yang tidak memilih partai Islam berdosa.
Itulah saat pertama saya berjumpa dengan keindonesiaan dan keislaman. Dengan logika anak kelas enam SR, saya katakan kepada adik saya Umar (kelas empat SR), bahwa saya sulit menerima pernyataan jurkam di atas.
Bagi saya saat itu Pancasila adalah dasar yang bagus bagi negara RI. Pendapat itu tetap saya yakini sampai saat ini. Saat itu tentu saja saya belum membaca bagaimana para pendiri bangsa memperdebatkan dasar negara dengan terbuka dan terus terang terkadang panas tetapi santun dan sportif.
Setelah menjadi mahasiswa, saya mulai membaca buku atau tulisan yang menguraikan proses pembentukan negara RI dalam persidangan BPUPKI dan PPKI. Lalu juga proses persidangan di Majelis Konstituante yang akhirnya bermuara pada Dekrit Presiden 5 juli 1959.
Timbul pertanyaan dalam diri saya mengapa Partai NU tidak menerima Pancasila dalam persidangan Konstituante. Saya bertanya kepada mertua saya, KH Saifuddin Zuhri, mengapa NU dalam Konstituante menolak Pancasila? Beliau menjawab bahwa pendapat NU diputuskan melalui musyawarah bersifat nasional dan memang saat itu hampir semua tokoh NU memilih dasar negara Islam.
Pendirian dan sikap politik semacam itu terus dipertahankan oleh NU ketika bergabung dalam PPP. PBNU baru mulai berpikir secara mendasar saat ada suara bahwa semua orpol dan ormas harus menggunakan Pancasila sebagai asasnya.
Tim yang dibentuk oleh PBNU di bawah pimpinan KH Ahmad Siddiq menghasilkan sebuah dokumen yang lalu disetujui oleh Munas Alim Ulama NU (1983) dan dikenal sebagai Deklarasi Hubungan Islam dan Pancasila. Deklarasi itulah yang memadukan Islam dan Pancasila sehingga menjadi landasan berdirinya PKB dan mungkin juga PAN.
Kesediaan untuk memadukan Indonesia dan Islam adalah suatu modal sosial politik yang amat berharga. Tetapi, perlu disadari tentu membutuhkan waktu panjang dan melalui proses yang tidak sederhana. Buktinya kini setelah 25 tahun NU meluncurkan Deklarasi Hubungan Islam dan Pancasila, masih amat terasa bahwa upaya memadukan Islam dan Pancasila masih jauh dari harapan.
Di lingkungan NU dan Muhammadiyah terdapat dua kelompok yang tampaknya berbeda pendapat tentang masalah tersebut. Personel AKKBB dan yang memasang iklan yang dituduh sebagai provokator oleh Habib Rizieq sebagian adalah warga dan tokoh-tokoh utama NU dan Muhammadiyah. Di dalam NU dan Muhammadiyah juga terdapat mereka yang ingin membubarkan Ahmadiyah.
Sementara itu, usai Orde Baru di luar NU dan Muhammadiyah muncul kelompok yang ingin mewujudkan khilafah Islamiyah, yaitu Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Selain itu muncul juga organisasi Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) di bawah pimpinan Abubakar Ba'asyir yang ingin mendirikan negara yang menerapkan syariat Islam secara total.
Itu terjadi dalam alam demokrasi yang memberi kebebasan kepada warga untuk berserikat dan memperjuangkan pendirian yang diyakininya, yang dijamin oleh UUD. Mereka berhak menyebarkan pendirian itu, asal tidak dengan kekerasan dan intimidasi. Tetapi, kalau mereka sudah melangkah lebih jauh daripada sekadar wacana, tentu akan berurusan dengan pihak berwajib.
Di pihak lain Pancasila kehilangan dukungan dari banyak warga masyarakat karena pensakralan terhadapnya dan indoktrinasi Pancasila oleh Orde Baru yang tidak disertai penerapan dari sila-sila itu. Mereka mengacaukan Pancasila dengan penerapannya, tetapi kita tidak bisa menyalahkan mereka.
Dari kegaduhan dan hiruk-pikuk yang menyertai perbedaan dalam menyikapi Ahmadiyah dan beberapa contoh lainnya, terlihat bahwa kesediaan prinsip untuk memadukan Islam dan Indonesia melalui deklarasi di atas tidak ditindaklanjuti dengan upaya serius untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Upaya serius harus dilakukan dalam bentuk serial dialog yang direncanakan, yang dilakukan dalam suasana santai dan menyenangkan dan tidak dalam situasi seperti sekarang. Tentu akan dibutuhkan waktu yang amat lama. Buktinya sudah 25 tahun sejak NU menerima Pancasila, upaya memadukan itu tidak tampak hasil nyata yang cukup berarti.
Kita paham masalahnya tidak sederhana dan rumit sehingga harus ada kesediaan dari kedua pihak untuk tidak memasang kata 'pokoke'. Perlu ada kesediaan untuk mencari titik temu sehingga upaya memadukan Indonesia dan Islam tidak hanya berupa ucapan dan tidak bergerak setelah 25 tahun berlalu sehingga bisa memperoleh kemajuan yang berarti. Tanpa upaya serius seperti diusulkan di atas, kita akan selalu menemui kondisi dan situasi penuh konflik antarumat Islam seperti sekarang.
Ikhtisar:
- Memadukan Indonesia dan Islam adalah suatu modal sosial politik yang amat berharga.
- Para pendiri bangsa sangat memahami kedua faktor tersebut tak bisa terpisahkan.
Dimuat di Harian Republika, Jumat, 27 Juni 2008

Sabtu, 06 November 2010

RESPON SANTRI TERHADAP ISI MAJALAH TEBUIRENG SEBAGAI MEDIA DAKWAH


Undergraduate Theses from JIPTIAIN / 2010-08-12 11:38:22
Oleh : Dina Fidiyawati B01205014, S1 - Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI)
Dibuat : 2010-08-12, dengan 7 file

Keyword : Respon Santri, Majalah Tebuireng.
Fokus masalah yang diteliti dalam skripsi ini adalah 1) Bagaimanakah respon santri terhadap isi majalah Tebuireng. 2) Motivasi apa yang mendorong para santri membaca majalah Tebuireng.

Dalam menjawab pertanyaan tersebut, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif dengan mengacu pada salah satu jenis penelitian media yang bersifat deskriftif. Adapun model teori yang peneliti gunakan adalah jarum suntik (hypodermic needle) yang mana jarum suntik yang dipegangnya penuh berisi cairan obat lalu disuntikkan. Cairan segera menjalar keseluruh tubuh pasien. Isi jarum suntik tersebut adalah (pesan) media dan pasien adalah massa. Model ini menggunakan 3 variabel yang mempengaruhi khalayak dalam menerima pesan yaitu: (1) struktur pesan (2) Gaya pesan (3) Appeals pesan. Media massa digunakan untuk merespon khalyak, serta menarik perhatian terhadap isi media mengenai fakta-fakta yang berlaku.

Berdasarkan masalah dan kesimpulan tersebut, penelitian ini belum menjawab lebih jauh bagaimana tanggapansantri mengenai proses pelaksanaan pesan dakwah pada majalah Tebuireng, kiranya majalah ini dapat dijadikan masalah penelitian berikutnya sehingga penelitian ini menjadi penelitian yang sempurna.
Copyrights : Copyright � 2001 by Digital Library IAIN Sunan Ampel . Verbatim copying and distribution of this entire article is permitted by author in any medium, provided this notice is preserved.

SUMBER:
http://digilib.sunan-ampel.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jiptiain--dinafidiya-8807

Majalah Lama: "Tebuireng" Edisi Perdana

Penerbit: Yayasan Hasyim Asy'ari Pondok Pesantren Salafiah Syafi'iyah Tebuireng. Alamat Redaksi: Pondok Pesantren Tebuireng, Kotak Pos 5, Jombang, Jawa Timur. Penasehat: H. M. Yusuf Hasyim; K.H. M. Syansuri Badawi. Pemimpin Umum / Pemimpin Redaksi: Mohammad Luqman Hakim. Redaktur Pelaksana: Wahyudin Ghozali; mIlyas Siraj; Moedzakir Soelsaf; Latifah Fajriyah; Ismiati Rifa'i. Pemimpin Usaha: Rieza Yusuf. Wakil Pemimpin Usaha & Sekretaris: S. Harun Al-Rasjid. Staf Ahli: H. Abdurrahman Wahid; H. Mahbub Djunaidi; Abdullah Sarwani; H. Tolchah Hasan; Mufid A. Busyairi. Koresponden: Damanhoeri (Jakarta); Nasrudin Anshari; Isti Nugraha (Yogyakarta); Khairan Hs.; Saifuddin Zuhri (Surabaya); Nailul Fauziah (Sumatera).

Majalah ini dimaksudkan sebagai media informasi dan komunikasi antara pesantren, masyarakat, dan pemerintah. Di samping itu, dimaksudkan juga sebagai sarana mengembangkan wawasan berfikir dan kreativitas santri dalam bidang keilmuan, keagamaan, dan kemasyarakatan. Terbit setiap awal bulan. Beberapa nama rubriknya, antara lain, Laporan Utama; Ilustrasi; Kolom; Luar Negeri; Renungan; Profil; dan lain-lain.

Majalah yang tampak di blog adalah Nomor Perdana/April 1986. Harga: Rp. 850,-


sumber:
http://koleksikemalaatmojo.blogspot.com/2009/12/majalah-lama-tebuireng-edisi-perdana.html

Unit Penerbitan Pesantren Tebuireng


Unit Penerbitan didirikan pada tanggal 1 Januari 2007, merupakan lembaga yang berkompeten di bidang pengembangan intelektual santri melalui penerbitan majalah, bulletin, dan buku. Personil pertamanya berjumlah tujuh orang.
Pada awalnya, Unit Penerbitan hanya menerbitkan (kembali) Majalah Tebuireng; majalah yang pernah eksis di tahun 1970-1980-an namun berhenti penerbitannya akibat kendala teknis. Pada masa kepemimpinan Gus Solah, majalah tersebut diterbitkan kembali secara berkala dan edisi perdananya mulai terbit pada bulan Juli 2007.

Kini, Unit Penerbitan telah mengelola tiga devisi di bawahnya, yaitu Divisi Majalah, Divisi Buletin, dan Divisi Penerbit Buku. Pada pertengahan tahun 2007, Unit Penerbitan juga mengelola Divisi SMS Dakwah, yang menangani pengiriman sms dakwah Gus Solah, bekerjasama dengan PT. Benang Komunikasi Infotama (B-comm) dan PT. Telkomsel Indonesia Tbk.

Sedangkan Divisi Penerbit Buku yang diberi nama Maktabah Tebuireng, telah menerbitkan buku profil KH. M. Yusuf Hasyim (Pak Ud) berjudul ”Sang Pejuang Sejati” (April 2007), bekerjasama dengan Pustaka IKAPETE. Lalu tahun 2008, Pustaka Tebuireng berencana menerbitkan buku berjudul ”Orientasi Ketuhanan dalam HAM” dan ”Rekonsiliasi, Meretas Kesatuan Bangsa” karya Gus Solah.

Kiai, Sastra dan Puisi



Oleh Almarhum KH. M. Ishomuddin Hadzik (Gus Ishom)

Setiap kali bertemu Kiai Mustofa Bisri, saya selalu ditagih apakah diwan atau
kitab kumpulan puisi karya Kiai Hasyim Asy’ari sudah ditemukan? Tentu
saya jawab belum. Bahkan setahu saya yang sejak 1994 menyunting belasan
karya Kiai Hasyim, beliau tak memiliki kumpulan puisi seperti yang
dimaksud penyair balsem asal Rembang itu.


Kalau ada satu dua bait puisi yang terselip di sela-sela tulisan beliau, memang ya. Tetapi
dalam bentuk antologi puisi, rasanya tidak ada. Padahal — selain Gus
Dur yang beberapa tahun silam pernah meminta Kiai Muchith Muzadi dan
Kiai Aziz Masyhuri melacak naskah-naskah karya Kiai Hasyim — sampai
kini mungkin cuma saya yang punya koleksi cukup lengkap.

Entah dari mana Mustofa Bisri mendapatkan informasi tentang antologi puisi
Kiai Hasyim itu. Yang jelas, kiai penyair ini rupanya terobsesi untuk
menerjemahkan puisi-puisi Kiai Hasyim ke dalam bahasa Indonesia supaya
bisa dinikmati khalayak yang lebih luas. Maklum, puisi-puisi yang
ditulis Kiai Hasyim — seperti halnya kiai-kiai lain di masa itu –
sebagian besar berbahasa Arab. Itu karena para kiai terkemuka di awal
abad XX rata-rata pernah mengenyam pendidikan di Timur Tengah. Tak
heran bila mereka terkadang lebih fasih berbicara dan menulis dalam
bahasa Arab ketimbang bahasa Melayu.

Kemampuan berbahasa Arab para kiai itu memang sangat mengagumkan. Mereka dituntut menguasai
bahasa dan sastra Arab karena merupakan pintu masuk untuk memahami dan
mengungkap rahasia Alquran. Kitab suci ini oleh kebanyakan orang Arab
bukan dianggap sekedar pedoman hidup, tetapi juga mukjizat kesusastraan
abadi yang mustahil ditandingi karya sastra mana pun. Karena itu,
seperti dinyatakan salah seorang teoritikus sastra Arab terkemuka,
Jalaluddin As Suyuthi, tanpa menguasai sastra Arab, mustahil dimensi
esoterik Alquran yang amat halus itu dapat dipahami dengan baik.

Tak seperti dipahami orang awam yang kadang membatasi kiai sekedar
agamawan, mereka ternyata juga peminat dan kolektor antologi karya para
sastrawan Arab terkemuka. Di perpustakaan sejumlah kiai, dapat
ditemukan diwan karya Imam Asy Syafi’i, Al Buhturi dan Al Farazdaq.
Bahkan kadang dijumpai karya sastra berbahasa Persia yang sudah
diterjemahkan, misalnya Mastnawi karya Jalaluddin Rumi atau Rubaiyyat Omar Khayyam.
Jangan tanya soal shalawat dan madaih nabawiyyah (pujian kepada Nabi), mereka gudangnya. Dari Banat Su’adu buah pena Ka’ab bin Zuhair dan Qashidah Al Burdah
karya Al Bushiri yang sangat imajinatif dan puitis, hingga beraneka
prosa dan puisi maulid, terutama karya Ja’far Al Barzanji. Malah ada
karya genuine yang mereka gubah sendiri, seperti Shalawat Quraniah tulisan Kiai Abdullah Umar Semarang yang mirip himne bagi para penghafal Alquran. Juga Shalawat Badar karya Kiai Ali Manshur Tuban yang amat populer dan nyaris menjadi shalawat wajib bagi kaum sarungan.

Keakraban dengan sastra Arab, menyebabkan karya intelektual dan karya sastra yang
lahir dari tangan para kiai tak lepas dari rumpun bahasa Semit ini.
Dari belasan judul karya Kiai Hasyim misalnya, hanya dua tiga buah
menggunakan bahasa Jawa bertulisan Arab pego. Sisanya berbahasa Arab.
Ayah Mustofa Bisri sendiri — yang namanya kebalikan dari sang anak,
Kiai Bisri Mustofa — meski banyak menerjemahkan kitab-kitab berbahasa
Arab ke dalam bahasa Jawa, tapi karya sastranya, Syarh Qashidah Munfarijah, buah pena Taqiuddin As Subki, juga berbahasa Arab.

Kepiawaian berolah kata para kiai itu muncul karena malakah atau naluri berekspresi yang mereka miliki berkat intensitasnya menggeluti sastra Arab. Bahkan, ada juga yang dianugerahi ikhtira’
alias kemampuan berimprovisasi sehingga ketika terlibat dalam sebuah
peristiwa, spontan dapat melahirkan puisi dan anekdot. Kiai Hasyim
pernah berdebat dengan Kiai Amar Faqih dalam suatu masalah.
Masing-masing menulis buku untuk mempertahankan pendapatnya. Ketika
polemik sudah mencapai puncak dan tak ada titik temu karena argumen
keduanya sama-sama bersumber dari Alquran, maka secara spontan Kiai
Hasyim menggubah sebait puisi Arab di akhir bukunya — yang kalau
diterjemahkan kira-kira demikian:

Aku boleh ragu
Kalian boleh ragu
Mereka boleh ragu
Tapi semua keraguan
tak akan menghapus kebenaran
firman Tuhan


Sebuah sajak sederhana, tapi memiliki kedalaman makna. Melalui sajak ini, Kiai
Hasyim menegaskan, pendapat yang lahir dari pemikiran seseorang harus
direlatifkan kebenarannya, dan karena itu bisa berbeda atau diragukan.
Kebenaran mutlak hanyalah kebenaran wahyu yang acapkali berada di luar
jangkauan nalar manusia.

Bagi para kiai, sajak berirama yang lazim disebut nazham
bahkan sering digunakan untuk merangkai teks-teks keagamaan agar lebih
mudah dihafal oleh para santri. Kiai Ahmad Qusyairi Siddiq Jember
misalnya, menulis 312 bait nazham berjudul Tanwir Al Hija
yang mengulas tuntas ajaran teologi dan ibadah bagi santri pemula.
Hebatnya, karya teologi dan fikih bercorak sufistik ini mendapatkan
perhatian hingga dibuatkan komentar panjang oleh ulama terkemuka Arab
Saudi, Sayyid Alwi bin Abbas Al Maliki, berjudul Inarat Ad Duja.
Menantu Kiai Siddiq, yaitu Kiai Abdul Hamid Pasuruan — seorang wali yang amat kesohor, tak kalah kreatif. Ia mensyairkan Sullam At Taufiq — sebuah kitab fikih sufistik yang bercorak Ghozalian dan menjadi mainstream pemahaman Islam Sunni di Indonesia — dalam 553 bait. Selain itu, ia
juga menyairkan 99 nama Allah yang dikenal sebagai Al Asma’ Al Husna.
Masih banyak lagi contoh lain yang bila diungkap satu per satu, akan
membuat tulisan ini jadi terlalu panjang.

Persoalannya, kini tak banyak lagi kiai atau gus yang memiliki malakah, apalagi ikhtira’
untuk menciptakan karya sastra. Bahkan, tingkat apresiasi mereka
terhadap sastra bisa dibilang sangat rendah. Ini merupakan sebuah
ironi, karena bila dibandingkan dengan generasi kiai terdahulu, mereka
yang belajar di Timur Tengah kini jauh lebih banyak. Tapi intensitas
menggeluti sastra dan melahirkan karya sangat kurang. Alumnus Timur
Tengah saat ini agaknya lebih suka menerjemahkan buku-buku berbahasa
Arab ke bahasa Indonesia ketimbang melahirkan karya genuine.
Larisnya penjualan buku terjemahan dan banyaknya penerbit yang
memfasilitasi penerbitan buku terjemahan seperti Mizan, Risalah Gusti
dan masih banyak lagi, mungkin menjadi salah satu faktor penyebab.
Akibatnya, seperti ditulis Hes Y Gumai dalam esainya, Memperkokoh Tradisi Sastra Kaum Santri (Republika, 28 April 2002), kalangan pesantren tak lagi mampu memproduksi karya
sastra yang cukup signifikan untuk ikut mewarnai jagad sastra nasional.
Apalagi mengintroduksi karya sastra yang sarat nilai-nilai religi dan
moral sebagai counter wacana terhadap karya sastra yang
mengedepankan nilai-nilai peradaban global, seperti konsep seksualitas
modern yang muncul pada karya-karya Ayu Utami.

Maka, tak mengherankan bila pesantren belakangan ini cenderung kering dari
sentuhan sastra, karena para kiai dan ustadz tak lagi produktif menulis
karya sastra, terutama puisi seperti dilakukan para pendahulunya.
Memang, ada beberapa nama yang pantas disebut, tapi jumlahnya bisa
dihitung dengan jari. Misalnya Mustofa Bisri dan Acep Zamzam Noor
(putera Kiai Ilyas Rukhiat). Tentu tak boleh dilupakan Celurit Emas D Zawawi Imron dan "Kiai Mbeling" Emha Ainun Nadjib.

Di luar itu, kita masih harus menunggu lama sampai munculnya nama-nama
lain yang meneruskan apresiasi sastra dan tradisi berpuisi dari para
kiai terdahulu.

Penulis adalah cerpenis, pekerja budaya dan pengasuh Pesantren Al Masruriah Tebuireng Jombang.
Sumber: http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=83548&kat_id=102&kat_id1=&kat_id2=

Menyikapi Bencana

oleh: Salahuddin Wahid
Sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dilantik, terjadi banyak bencana di negeri kita, baik bencana alam maupun bukan. Bencana alam sepenuhnya terjadi karena proses alam, tidak ada yang dapat dilakukan untuk mencegahnya. Paling banyak kita dapat mengurangi dampak yang ditimbulkannya. Yang bukan bencana alam adalah bencana yang sebenarnya dapat kita elakkan atau kita cegah. Tetapi, pencegahan itu gagal karena kekurangmampuan kita.
Kita bisa menyebut di luar kepala bencana yang terjadi. Tabrakan di Jalan Tol Jagorawi antara iring-iringan kendaraan pengawal Presiden dengan beberapa kendaraan lain. Ada kecelakaan pesawat Lion Air di Solo. Tabrakan kereta api juga banyak terjadi. Kecelakaan laut juga terjadi. Yang terdahsyat adalah bencana tsunami di Aceh, akhir Desember 2004. Sementara yang terakhir, 27 Mei 2006, adalah gempa tektonik di Yogyakarta dan Jawa Tengah.
Tidak heran bila kemudian banyak yang bertanya apakah kedua pemimpin itu yang menjadi sebab terjadinya banyak bencana secara beruntun. Apakah pendapat di atas benar secara agama dan secara nalar?
Bencana atau musibah adalah suatu kejadian yang menimpa kita dan menimbulkan kerugian di luar kehendak kita. Bencana alam seperti tsunami di Aceh atau gempa tektonik di Yogyakarta dan Jawa Tengah adalah suatu peristiwa alam yang terjadi sebagai suatu ketentuan alam, yang menurut Islam adalah sunnatullah. Yaitu, suatu gerakan lempengan di dalam bumi yang telah terjadi sejak ribuan tahun yang lalu.
Sunnatullah itu terwujud pada saat Allah menciptakan bumi di dalam enam satuan waktu. Penciptaan itu terjadi jutaan tahun yang lalu. Mayoritas kita di Indonesia mempercayai penciptaan Tuhan terhadap alam semesta.
Di negara Barat diajarkan bahwa alam semesta terjadi secara alamiah, tidak ada penciptanya. Para pakar, termasuk pemenang nobel, tidak percaya pada teori penciptaan. Namun, belakangan muncul tuntutan di beberapa negara bagian Amerika Serikat supaya teori penciptaan menurut agama-agama juga diajarkan di sekolah negara agar para siswa bisa menentukan sendiri teori mana yang mereka percaya.
Yang bisa dan telah kita lakukan ialah mempelajari gejala alam yang catatannya telah kita punyai sejak lebih dari seratus tahun yang lalu. Perangai alam yang telah diketahui itu dibuat polanya untuk dijadikan pegangan dalam menghadapi kecenderungan alam di masa depan. Tetapi, kita sadar bahwa alam masih tetap menjadi suatu misteri. Kita tidak bisa menentukan dengan tepat waktu gempa yang diperkirakan akan terjadi. Yang jelas kita bisa melakukan langkah untuk memperkecil dampak bencana terhadap kehidupan kita, terutama korban jiwa. Saya pernah bertanya langsung kepada Ibu Megawati apakah benar bahwa Menteri ESDM (2002 atau 2003) telah melaporkan kepada beliau selaku presiden bahwa tsunami diperkirakan akan terjadi di Indonesia. Ibu Mega menjawab, betul.
Lalu saya bertanya apa tanggapan pemerintah terhadap laporan tersebut. Beliau menjawab, diperingatkan kepada pemerintah daerah untuk mewaspadai kemungkinan tersebut.
Di dalam Surah ar Ra'd: 11 Allah berfirman: "Sungguh Allah tiada nasib suatu kaum (bangsa) jika tiada mereka mengubah nasibnya sendiri." Tetapi ayat itu masih ada lanjutannya: "Dan bila Allah menghendaki keburukan bagi suatu kaum, maka tidak seorang pun dapat menolaknya."
Kalau pemerintah lebih waspada terhadap peringatan dari para ahli geofisika, mungkin yang bisa dikurangi adalah jumlah korban jiwa. Korban materi sulit dihindari.
Kita lihat dari Aceh sampai Yogyakarta butuh waktu sekitar 17 bulan sampai terjadi bencana berikut. Kita harus melakukan antisipasi dengan cermat ke mana arah gerakan gempa bumi itu dan memasang early warning system di tempat yang diperlukan dan menjaga supaya alat itu diawasi dan difungsikan secara efektif.
Jadi tidak benar kalau dikatakan bahwa Presiden SBY dan Wapres JK menjadi penyebab terjadinya bencana alam yang menimpa kita secara beruntun. Tetapi, kalau kemudian pemerintah sekarang kurang tanggap seperti pemerintahan Ibu Mega terhadap usul tentang early warning system, kita bisa menyalahkan pemerintah.
Bencana yang terjadi karena kesalahan manusia seperti kecelakaan pesawat terbang, kapal laut dan kereta api sebenarnya dapat kita hindari kalau kita lebih disiplin, lebih cermat dan teliti. Di sini kita bicara tentang birokrasi pemerintah, BUMN dan perusahaan swasta.
Buruknya birokrasi adalah masih adanya masalah klasik di negara kita. Walaupun terlah terjadi reformasi di bidang politik dan di bidang hukum (legislation reform bukan yudicial reform), reformasi birokrasi dan reformasi di bidang ekonomi belum terjadi.
Kalau kita ingin negara ini maju, sejahtera dan aman, maka tidak ada pilihan lain kecuali segera melakukan reformasi di bidang birokrasi. Perlu dibuat grand design dari reformasi itu, lalu diterapkan dengan prinsip meritokrasi. Jangan sampai birokrasi pemerintah dan BUMN menjadi kepanjangan tangan partai politik atau kekuasaan politik. Agama Islam mengajarkan: serahkan segala sesuatu kepada ahlinya. Kalau tidak, maka bencana (dalam berbagai bentuknya seperti penggundulan hutan) akan tetap terjadi.
Untuk bencara seperti tersebut di atas yang di luar kendali kita, dan kita sudah berihtiar sekuat mungkin, kita hanya bisa berserah diri atau tawakal kepada Allah SWT. Islam mengajarkan: apabila musibah menimpa dirimu, katakanlah bahwa segala sesuatu datang dari Allah dan akan kembali kepada Allah.*** 

  •  

  • sumber: http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=146085

  • Rekonsiliasi dengan Korban 1965


    Oleh Salahuddin Wahid

    SAAT berusia 10 tahun, saya melihat sebuah foto di ruang kerja ayah saya,
    yang menunjukkan gambar seorang lelaki dengan mata tertutup berdiri
    menghadapi beberapa orang yang mengacungkan senjata. Saya bertanya siapa
    lelaki itu dan apa yang sedang dialaminya. Ayah menjawab, lelaki itu anggota
    PKI yang terlibat pemberontakan di Madiun (1948).


    Menurut beliau, pemberontakan itu membunuh banyak kiai di sekitar Madiun,
    banyak di antaranya yang punya hubungan darah dengan kami. Jawaban ayah
    saya tentang pembunuhan oleh anggota PKI terhadap keluarga kami langsung
    saya percaya dan sangat membekas di dalam diri saya dan tidak mungkin saya
    lupakan sampai kapan pun. Saya yakin banyak sekali orang yang berpendapat
    sama dengan saya.

    Kini telah terbit banyak buku yang membantah apa yang saya yakini itu.
    Menurut para penulis buku itu, peristiwa (bukan pemberontakan) Madiun adalah
    buah persengketaan antara TNI dan laskar-laskar revolusi lainnya. Dan juga
    merupakan konflik internal Angkatan Darat. Penulis buku-buku itu berpendapat
    bahwa PKI hanya menjadi kambing hitam dan korban perang dingin. Yang
    dipersalahkan adalah mereka yang antikomunis dan memanipulasi peristiwa itu
    lalu menyebutnya sebagai pemberontakan.

    Ada tiga buku yang saya punya. Pertama berjudul PKI Korban Perang Dingin
    (Sejarah Peristiwa Madiun) yang berisi kumpulan tulisan yaitu tulisan DN
    Aidit berjudul Menggugat Peristiwa Madiun, tulisan Suar Suroso berjudul PKI,
    Korban Pertama Perang Dingin, tulisan Jacques Leclerc tentang Amir
    Syarifudin dan tulisan Musso berjudul Jalan Baru.

    Buku kedua berjudul Negara Madiun? (Kesaksian Soemarsono, Pelaku
    Perjuangan). Hasil diskusi panjang Arief Budiman dengan Soemarsono itu
    ditambah kajian yang dilakukannya lalu dikembangkan dan ditulis oleh
    Hersriawan, yang pernah menjadi tapol di Pulau Buru. Buku ketiga berjudul
    Peristiwa Madiun 1948. Kudeta atau Konflik Internal Tentara yang ditulis
    oleh David Charles Anderson.

    Amat sulit untuk mengubah opini orang yang yakin bahwa PKI terlibat dalam
    pemberontakan Madiun. Tetapi warga masyarakat yang masih berusia muda
    cenderung untuk mempercayai isi buku-buku di atas. Bagi mereka PKI adalah
    korban Orde Baru yang mereka ketahui sebagai pemerintahan otoriter yang
    korup.

    TANGGAL 1 Oktober 1965 pagi, kami sekeluarga mendengarkan dengan
    saksama pengumuman radio dari Dewan Revolusi. Reaksi spontan kami
    sekeluarga: di belakang Dewan Revolusi adalah PKI. Kami punya reaksi itu
    karena selama beberapa tahun sebelumnya telah menyaksikan terjadinya
    "perang" antara PKI dan kawan-kawan melawan kekuatan politik lain yang
    meliputi kalangan Islam, agama lain, kelompok sosialis, TNI, dan lain lain.
    Kedua kekuatan yang bertentangan itu berusaha menarik Bung Karno ke
    arah kelompok mereka.

    Keluarga serta kawan kami di Jawa Timur mengisahkan banyak peristiwa
    yang mencerminkan runcingnya pertentangan antara pihak PKI serta
    lawannya, yang sudah sampai di lapisan masyarakat paling bawah.
    Boleh dibilang tingkat pertentangannya sudah sampai pada puncaknya,
    tinggal menunggu meletus dalam konflik fisik terbuka yang meluas.

    Reaksi spontan kami dalam menanggapi gempa bumi politik saat itu sama
    dengan reaksi puluhan juta orang lain. Apa yang terjadi saat itu tentu tidak
    mungkin dinilai dengan tatanan sosial politik pada saat ini. Kini setelah 39
    tahun berlalu, saya merasa reaksi spontan kami itu adalah wajar dan sesuai
    dengan pengalaman dan tatanan sosial politik waktu itu.
    Tentu saja, bersikap menyatakan PKI terlibat G30S bukan berarti kami
    menyetujui tindakan pembunuhan terhadap sekian banyak orang yang
    dituduh sebagai anggota PKI.

    Pada tahun 1969 terbit tulisan Arnold C Brackman, Cornell Paper:
    Communist Collapse in Indonesia yang mengemukakan pendapat bahwa
    G30S bukan kudeta PKI tetapi merupakan konflik internal Angkatan Darat.
    Saya punya buku berjudul G 30 S, Sejarah Yang Digelapkan, Tangan
    Berdarah CIA dan Rejim Soeharto karya Harsutejo. Buku yang lain
    berjudul Membongkar Jaringan CIA karya Yoshiro Mushasi, yang
    menggali kemungkinan peran CIA dalam penggulingan Soekarno.
    Buku ketiga berjudul Kudeta Angkatan Darat karya Geoffrey B Robinson.
    Masih banyak lagi buku lain dengan opini yang sama.

    Menanggapi tuntutan untuk melakukan penulisan kembali sejarah Indonesia
    yang dianggap mengandung banyak pemalsuan, dibentuklah tim untuk
    melakukan tugas itu yang dipimpin oleh Dr Taufik Abdullah. Tetapi
    tampaknya tidak mudah bagi tim itu untuk menuliskan apa yang sebenarnya
    terjadi di dalam peristiwa G30S.
    Ada semacam kabut tebal yang menyelimutinya hingga sulit untuk
    mengungkap kebenaran. Versi manapun yang diakui atau dianggap benar,
    pasti tidak akan diterima dan menimbulkan reaksi keras dari pihak yang
    berlawanan.

    Masalah utama peristiwa G30S adalah pembunuhan dalam jumlah amat
    besar terhadap siapa pun yang dianggap sebagai anggota PKI dan onder-
    bouwnya, yang dilakukan tanpa melalui proses hukum. Beberapa buku
    mengungkap bahwa pembunuhan itu dilakukan oleh sebagian warga
    masyarakat atas perintah sejumlah aparat tentara yang dilakukan di
    berbagai tempat di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Bali. Tampaknya
    saat itu paradigma TNI menganggap komunis sebagai musuh bangsa.
    Paradigma itu tentu merupakan hasil perjalanan kesejarahan TNI
    sejak awal kemerdekaan. Tetapi pembunuhan massal itu bukan
    implementasi yang tepat dari paradigma TNI itu dipandang dari
    perspektif kemanusiaan, walaupun perspektif politik dan militer mungkin
    bisa dianggap tepat.

    Di Jawa Timur banyak warga NU dan Ansor ikut terlibat dalam
    pembunuhan itu.
    Mereka terlibat kekejaman itu karena tidak dapat menghindar dari
    instruksi tentara dan juga karena merasakan suasana peperangan
    yang hidup di dalam masyarakat. Suasana semacam itu terbangun
    akibat konflik fisik yang mereka alami selama beberapa tahun terakhir,
    yang tentu bernuansa membunuh atau dibunuh dari pada dibunuh.
    Tetapi perlu disadari bahwa kalau kita memahami suasana sosial
    saat itu tidak berarti kita menyetujui tindakan itu.

    BEBERAPA tahun terakhir terjadi gejala menarik dan positif.
    Sejumlah anak muda NU yang tergabung dalam Syarikat memulai
    langkah awal untuk bisa mewujudkan rekonsiliasi sosial dengan
    keluarga korban peristiwa 1965. Mereka melakukan silaturrahim
    dengan keluarga mantan tapol di berbagai tempat.
    Mereka juga menerbitkan buletin RUAS yang khusus membahas
    materi yang berkaitan dengan upaya rekonsiliasi. Tetapi langkah
    anak muda NU itu tampaknya belum mendapatkan tanggapan
    positif dari mayoritas warga NU.

    Kita sadar bahwa rekonsiliasi dengan korban pelanggaran HAM
    yang berat masa lalu harus segera dilakukan. Tapi kita juga tahu
    bahwa tidak mudah untuk melakukannya. UU Komisi Kebenaran
    dan Rekonsiliasi (KKR) ternyata tidak mudah untuk melakukannya.
    UU KKR ternyata tidak memuaskan karena lebih memihak
    kepada pelaku pelanggaran.
    Perlu kita ketahui bahwa rekonsiliasi itu tidak hanya antara pelaku
    dengan korban dan keluarga, tetapi juga antara masyarakat secara
    umum dengan korban dan keluarga.
    Yang pertama bernuansa hukum dan yang kedua lebih bernuansa sosial.
    Jenis yang kedua itulah yang ingin dilakukan oleh kalangan muda
    NU yang tergabung dalam Syarikat itu bisa dilakukan tanpa
    dikaitkan dengan UU KKR. Masing-masing bisa berjalan sendiri
    dan saling mendukung.

    Di dalam kalangan NU-terutama generasi tua-tidak mungkin untuk
    mengubah perspesi tentang keterlibatan PKI dalam peristiwa Madiun
    dan peristiwa G30S.
    Wajar kalau mereka masih belum bisa melupakan pengalaman buruk
    dengan PKI.
    Kecurigaan terhadap PKI juga masih cukup tinggi. Kondisi itu tidak
    mendukung upaya rekonsiliasi dengan korban G30S dan keluarganya
    yang ingin dilakukan oleh kalangan muda NU. Mantan tapol dan
    keluarganya berjumlah amat besar, demikian pula warga NU.
    Jadi terwujudnya rekonsiliasi antara kedua komunitas itu akan memberi
    dampak positif bagi kehidupan bangsa di masa mendatang.

    Rekonsiliasi itu membutuhkan kesediaan semua pihak untuk melakukannya.
    Membutuhkan ketulusan, kejujuran dan keterbukaan, menghendaki
    hilangnya prasangka didalam diri masing-masing. Juga membutuhkan
    kesabaran, kesungguhan, dan kerja keras. Serta membutuhkan waktu
    yang amat panjang. Makin cepat dilakukan, makin baik.

    Sudah saatnya NU-jama'ah dan jami'yah-mempertimbangkan bagaimana
    sebaiknya menyikapi masalah rekonsiliasi sosial warga NU dengan
    mantan tapol dan keluarganya. Sudah cukup jauh jarak waktu dengan
    tahun 1965 sehingga tidak terlalu sulit bagi NU untuk mengambil sikap
    yang tepat. Dalam posisi sebagai Presiden, Gus Dur telah membuka
    jalan dengan meminta maaf kepada korban dan keluarga mereka.
    Kegiatan kalangan muda NU dalam Syarikat adalah langkah awal
    bagi tujuan mulia yang merupakan sumbangsih besar NU yang
    kesekiankalinya bagi bangsa.

    Salahuddin Wahid Pengasuh Pesantren Tebuireng
    www.kompas.com