Sabtu, 06 November 2010

Rekonsiliasi dengan Korban 1965


Oleh Salahuddin Wahid

SAAT berusia 10 tahun, saya melihat sebuah foto di ruang kerja ayah saya,
yang menunjukkan gambar seorang lelaki dengan mata tertutup berdiri
menghadapi beberapa orang yang mengacungkan senjata. Saya bertanya siapa
lelaki itu dan apa yang sedang dialaminya. Ayah menjawab, lelaki itu anggota
PKI yang terlibat pemberontakan di Madiun (1948).


Menurut beliau, pemberontakan itu membunuh banyak kiai di sekitar Madiun,
banyak di antaranya yang punya hubungan darah dengan kami. Jawaban ayah
saya tentang pembunuhan oleh anggota PKI terhadap keluarga kami langsung
saya percaya dan sangat membekas di dalam diri saya dan tidak mungkin saya
lupakan sampai kapan pun. Saya yakin banyak sekali orang yang berpendapat
sama dengan saya.

Kini telah terbit banyak buku yang membantah apa yang saya yakini itu.
Menurut para penulis buku itu, peristiwa (bukan pemberontakan) Madiun adalah
buah persengketaan antara TNI dan laskar-laskar revolusi lainnya. Dan juga
merupakan konflik internal Angkatan Darat. Penulis buku-buku itu berpendapat
bahwa PKI hanya menjadi kambing hitam dan korban perang dingin. Yang
dipersalahkan adalah mereka yang antikomunis dan memanipulasi peristiwa itu
lalu menyebutnya sebagai pemberontakan.

Ada tiga buku yang saya punya. Pertama berjudul PKI Korban Perang Dingin
(Sejarah Peristiwa Madiun) yang berisi kumpulan tulisan yaitu tulisan DN
Aidit berjudul Menggugat Peristiwa Madiun, tulisan Suar Suroso berjudul PKI,
Korban Pertama Perang Dingin, tulisan Jacques Leclerc tentang Amir
Syarifudin dan tulisan Musso berjudul Jalan Baru.

Buku kedua berjudul Negara Madiun? (Kesaksian Soemarsono, Pelaku
Perjuangan). Hasil diskusi panjang Arief Budiman dengan Soemarsono itu
ditambah kajian yang dilakukannya lalu dikembangkan dan ditulis oleh
Hersriawan, yang pernah menjadi tapol di Pulau Buru. Buku ketiga berjudul
Peristiwa Madiun 1948. Kudeta atau Konflik Internal Tentara yang ditulis
oleh David Charles Anderson.

Amat sulit untuk mengubah opini orang yang yakin bahwa PKI terlibat dalam
pemberontakan Madiun. Tetapi warga masyarakat yang masih berusia muda
cenderung untuk mempercayai isi buku-buku di atas. Bagi mereka PKI adalah
korban Orde Baru yang mereka ketahui sebagai pemerintahan otoriter yang
korup.

TANGGAL 1 Oktober 1965 pagi, kami sekeluarga mendengarkan dengan
saksama pengumuman radio dari Dewan Revolusi. Reaksi spontan kami
sekeluarga: di belakang Dewan Revolusi adalah PKI. Kami punya reaksi itu
karena selama beberapa tahun sebelumnya telah menyaksikan terjadinya
"perang" antara PKI dan kawan-kawan melawan kekuatan politik lain yang
meliputi kalangan Islam, agama lain, kelompok sosialis, TNI, dan lain lain.
Kedua kekuatan yang bertentangan itu berusaha menarik Bung Karno ke
arah kelompok mereka.

Keluarga serta kawan kami di Jawa Timur mengisahkan banyak peristiwa
yang mencerminkan runcingnya pertentangan antara pihak PKI serta
lawannya, yang sudah sampai di lapisan masyarakat paling bawah.
Boleh dibilang tingkat pertentangannya sudah sampai pada puncaknya,
tinggal menunggu meletus dalam konflik fisik terbuka yang meluas.

Reaksi spontan kami dalam menanggapi gempa bumi politik saat itu sama
dengan reaksi puluhan juta orang lain. Apa yang terjadi saat itu tentu tidak
mungkin dinilai dengan tatanan sosial politik pada saat ini. Kini setelah 39
tahun berlalu, saya merasa reaksi spontan kami itu adalah wajar dan sesuai
dengan pengalaman dan tatanan sosial politik waktu itu.
Tentu saja, bersikap menyatakan PKI terlibat G30S bukan berarti kami
menyetujui tindakan pembunuhan terhadap sekian banyak orang yang
dituduh sebagai anggota PKI.

Pada tahun 1969 terbit tulisan Arnold C Brackman, Cornell Paper:
Communist Collapse in Indonesia yang mengemukakan pendapat bahwa
G30S bukan kudeta PKI tetapi merupakan konflik internal Angkatan Darat.
Saya punya buku berjudul G 30 S, Sejarah Yang Digelapkan, Tangan
Berdarah CIA dan Rejim Soeharto karya Harsutejo. Buku yang lain
berjudul Membongkar Jaringan CIA karya Yoshiro Mushasi, yang
menggali kemungkinan peran CIA dalam penggulingan Soekarno.
Buku ketiga berjudul Kudeta Angkatan Darat karya Geoffrey B Robinson.
Masih banyak lagi buku lain dengan opini yang sama.

Menanggapi tuntutan untuk melakukan penulisan kembali sejarah Indonesia
yang dianggap mengandung banyak pemalsuan, dibentuklah tim untuk
melakukan tugas itu yang dipimpin oleh Dr Taufik Abdullah. Tetapi
tampaknya tidak mudah bagi tim itu untuk menuliskan apa yang sebenarnya
terjadi di dalam peristiwa G30S.
Ada semacam kabut tebal yang menyelimutinya hingga sulit untuk
mengungkap kebenaran. Versi manapun yang diakui atau dianggap benar,
pasti tidak akan diterima dan menimbulkan reaksi keras dari pihak yang
berlawanan.

Masalah utama peristiwa G30S adalah pembunuhan dalam jumlah amat
besar terhadap siapa pun yang dianggap sebagai anggota PKI dan onder-
bouwnya, yang dilakukan tanpa melalui proses hukum. Beberapa buku
mengungkap bahwa pembunuhan itu dilakukan oleh sebagian warga
masyarakat atas perintah sejumlah aparat tentara yang dilakukan di
berbagai tempat di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Bali. Tampaknya
saat itu paradigma TNI menganggap komunis sebagai musuh bangsa.
Paradigma itu tentu merupakan hasil perjalanan kesejarahan TNI
sejak awal kemerdekaan. Tetapi pembunuhan massal itu bukan
implementasi yang tepat dari paradigma TNI itu dipandang dari
perspektif kemanusiaan, walaupun perspektif politik dan militer mungkin
bisa dianggap tepat.

Di Jawa Timur banyak warga NU dan Ansor ikut terlibat dalam
pembunuhan itu.
Mereka terlibat kekejaman itu karena tidak dapat menghindar dari
instruksi tentara dan juga karena merasakan suasana peperangan
yang hidup di dalam masyarakat. Suasana semacam itu terbangun
akibat konflik fisik yang mereka alami selama beberapa tahun terakhir,
yang tentu bernuansa membunuh atau dibunuh dari pada dibunuh.
Tetapi perlu disadari bahwa kalau kita memahami suasana sosial
saat itu tidak berarti kita menyetujui tindakan itu.

BEBERAPA tahun terakhir terjadi gejala menarik dan positif.
Sejumlah anak muda NU yang tergabung dalam Syarikat memulai
langkah awal untuk bisa mewujudkan rekonsiliasi sosial dengan
keluarga korban peristiwa 1965. Mereka melakukan silaturrahim
dengan keluarga mantan tapol di berbagai tempat.
Mereka juga menerbitkan buletin RUAS yang khusus membahas
materi yang berkaitan dengan upaya rekonsiliasi. Tetapi langkah
anak muda NU itu tampaknya belum mendapatkan tanggapan
positif dari mayoritas warga NU.

Kita sadar bahwa rekonsiliasi dengan korban pelanggaran HAM
yang berat masa lalu harus segera dilakukan. Tapi kita juga tahu
bahwa tidak mudah untuk melakukannya. UU Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi (KKR) ternyata tidak mudah untuk melakukannya.
UU KKR ternyata tidak memuaskan karena lebih memihak
kepada pelaku pelanggaran.
Perlu kita ketahui bahwa rekonsiliasi itu tidak hanya antara pelaku
dengan korban dan keluarga, tetapi juga antara masyarakat secara
umum dengan korban dan keluarga.
Yang pertama bernuansa hukum dan yang kedua lebih bernuansa sosial.
Jenis yang kedua itulah yang ingin dilakukan oleh kalangan muda
NU yang tergabung dalam Syarikat itu bisa dilakukan tanpa
dikaitkan dengan UU KKR. Masing-masing bisa berjalan sendiri
dan saling mendukung.

Di dalam kalangan NU-terutama generasi tua-tidak mungkin untuk
mengubah perspesi tentang keterlibatan PKI dalam peristiwa Madiun
dan peristiwa G30S.
Wajar kalau mereka masih belum bisa melupakan pengalaman buruk
dengan PKI.
Kecurigaan terhadap PKI juga masih cukup tinggi. Kondisi itu tidak
mendukung upaya rekonsiliasi dengan korban G30S dan keluarganya
yang ingin dilakukan oleh kalangan muda NU. Mantan tapol dan
keluarganya berjumlah amat besar, demikian pula warga NU.
Jadi terwujudnya rekonsiliasi antara kedua komunitas itu akan memberi
dampak positif bagi kehidupan bangsa di masa mendatang.

Rekonsiliasi itu membutuhkan kesediaan semua pihak untuk melakukannya.
Membutuhkan ketulusan, kejujuran dan keterbukaan, menghendaki
hilangnya prasangka didalam diri masing-masing. Juga membutuhkan
kesabaran, kesungguhan, dan kerja keras. Serta membutuhkan waktu
yang amat panjang. Makin cepat dilakukan, makin baik.

Sudah saatnya NU-jama'ah dan jami'yah-mempertimbangkan bagaimana
sebaiknya menyikapi masalah rekonsiliasi sosial warga NU dengan
mantan tapol dan keluarganya. Sudah cukup jauh jarak waktu dengan
tahun 1965 sehingga tidak terlalu sulit bagi NU untuk mengambil sikap
yang tepat. Dalam posisi sebagai Presiden, Gus Dur telah membuka
jalan dengan meminta maaf kepada korban dan keluarga mereka.
Kegiatan kalangan muda NU dalam Syarikat adalah langkah awal
bagi tujuan mulia yang merupakan sumbangsih besar NU yang
kesekiankalinya bagi bangsa.

Salahuddin Wahid Pengasuh Pesantren Tebuireng
www.kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar