Sabtu, 06 November 2010

Mau Dibawa ke Mana NU?

Oleh: Salahuddin Wahid
JUDUL di atas adalah pertanyaan yang sering diajukan kepada para bakal calon ketua umum PB NU, termasuk saya. Pertanyaan itu sebenarnya harus ditujukan tidak hanya kepada calon ketua umum PB NU, tetapi juga kepada calon rais aam, bahkan para muktamirin.
Untuk menjawab pertanyaan itu, saya mengajukan pertanyaan balik. Apa yang dimaksud dengan NU? Menurut saya, ada empat pengertian tentang NU. Pertama, ajaran Islam ahlussunnah wal jamaah (aswaja). Kedua, warga NU; ketiga, ulama dan pesantren, dan keempat adalah organisasi.
Ajaran Aswaja
Secara ringkas dan sederhana, Islam aswaja itu terdiri atas aspek fikih yang mengikuti imam empat Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali; akidah yang mengikuti Imam Asy’ari dan Imam Maturidi; tasawuf yang mengikuti Imam Ghazali dan Imam Junaidi al Baghdadi.
Selain itu, terdapat beberapa pedoman di dalam organisasi NU. Pertama, Qanun Asasi yang disusun pendiri NU KH M. Hasyim Asy’ari, yang menjadi semacam pembukaan UUD. Kedua, Khitah NU 1926 yang memuat, antara lain, Dasar-dasar paham keagamaan NU; Sikap kemasyarakatan NU; Perilaku yang dibentuk oleh dasar dan sikap tersebut di atas, serta NU dan kehidupan berbangsa. Juga terdapat pedoman berpolitik warga NU.
Selain ajaran dalam aspek fikih, akidah, dan tasawuf itu, NU telah mempunyai ajaran aswaja dalam bidang politik yang tertuang dalam dokumen tentang Hubungan Islam dan Pancasila yang merupakan produk Munas Ulama NU 1983 dan diperkuat dalam Muktamar NU 1984. NU adalah ormas Islam pertama yang menerima Pancasila.
Menurut saya, kalau sudah ada ajaran aswaja dalam bidang politik seperti diuraikan di atas, wajar kalau ada ajaran aswaja dalam bidang ekonomi. Bagi saya, sistem ekonomi seperti yang dirumuskan dalam UUD 1945 yang asli mendekati sistem ekonomi aswaja. Itu lebih memungkinkan untuk bisa mewujudkan sila keadilan sosial.
Warga NU
Pengertian NU yang kedua adalah warganya. Menurut survei PPIM UIN Ciputat (2002), jumlah umat Islam yang mengaku dari komunitas NU mencapai 42 persen. Menurut survei LSI Saiful Mujani (2009), jumlah tersebut adalah 38 persen. Kalau kita anggap bahwa warga komunitas NU adalah 40 persen, jumlahnya mencapai sekitar 86 juta.
Jumlah penduduk sebanyak itu adalah warga NU kultural, yang menjalankan ritual ala NU. Jumlah warga sebesar itu tidak semuanya menjadi anggota organisasi NU. Warga dalam jumlah besar itu, sebagian besar adalah mereka yang belum sejahtera, yang tingkat pendidikannya rendah. Dan, harus diakui, organisasi NU belum berbuat banyak untuk mereka.
Jumlah penduduk sebesar itu tentu menggiurkan bagi partai politik. Karena itu, tokoh NU selalu didekati oleh partai dan calon peserta pilkada dan pilpres. Tetapi, ternyata tidak semua warga komunitas NU yang memilih partai yang berkaitan dengan organisasi NU.
Ulama dan Pesantren
NU juga mengandung pengertian ulama dan pesantren. Melalui pesantren, selama berabad-abad ulama berjuang mendidik rakyat sebelum ada pendidikan oleh pemerintah Hindia Belanda dan oleh lembaga swasta dan pemerintah RI.
Ulama dan pesantren telah mampu menanamkan sikap moderat ke dalam diri umat Islam di seluruh Nusantara. Salah satu buahnya adalah kesediaan para tokoh umat Islam mencoret “tujuh kata Piagam Jakarta” saat sejumlah tokoh non-Islam dari Indonesia Timur menolaknya. Penerimaan Pancasila oleh umat Islam Indonesia adalah juga hasil pemikiran ulama pesantren.
Namun, tampaknya bangsa Indonesia, termasuk para pemimpinnya, tidak menyadari bahwa bangsa Indonesia belum memberikan penghargaan yang sepantasnya terhadap pesantren. Pemerintah belum berbuat banyak untuk membantu peningkatan mutu pengajaran ilmu nonagama di madrasah dan pesantren.
Organisasi NU
Organisasi umumnya didirikan untuk menggali potensi yang ada, guna mencapai tujuan. Dalam hal NU, adalah untuk menyebarluaskan ajaran NU dan mewujudkannya dalam kehidupan nyata melalui program. Juga untuk melindungi dan membantu warganya serta membantu pesantren dan ulama.
Tanpa bermaksud menyalahkan siapa pun, harus diakui bahwa organisasi NU belum maksimal dalam mencapai tujuannya. NU kultural tumbuh sendiri, tanpa bantuan organisasi NU. Pesantren dan ulama juga tumbuh sendiri tanpa sentuhan organisasi NU. Bidang kegiatan yang belum tergarap oleh pesantren, seperti universitas yang bermutu, rumah sakit, dan lain-lain juga belum banyak tersentuh oleh organisasi NU. Ketertarikan dan keterlibatan tokoh struktural NU terhadap politik praktis menambah parah masalah.
Untuk itu, ke depan NU harus dibawa menuju tujuan didirikannya organisasi NU. Organisasi NU harus mampu memberikan manfaat nyata kepada warganya, terutama yang tertinggal. Amal usaha sosial organisasi NU dalam bidang pendidikan, kesehatan, dakwah, dan ekonomi, harus ditingkatkan. Politik kebangsaan harus diutamakan di atas politik praktis.
Untuk itu diperlukan pimpinan (rais aam, ketua umum, dll) yang bukan politikus, yang fokus pada upaya perbaikan organisasi dan amal usaha sosial. Pimpinan puncak organisasi NU (rais aam dan ketua umum PB NU) seharusnya bukan tokoh yang cenderung akan memanfaatkan posisi di dalam NU untuk tujuan politik atau tujuan pribadi yang lain, melainkan tokoh yang niatnya murni berkhidmat untuk kepentingan NU. (*)
*). KH Salahuddin Wahid, pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang
http://jawapos.co.id/halaman/index.php?act=showpage&kat=7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar